Dinding stadion Kemal Ataturk seperti setipis kertas. Dari kamar ganti Liverpool, sorak sorai pemain AC Milan di ruangan yang berbeda begitu jelas terdengar. Semua pemain Liverpool tertunduk lesu. Tak ada yang berani menegakkan kepala. Pada malam final Liga Champions 2004/05 itu, Milan memberikan pukulan telak kepada Liverpool. Milan mampu unggul 3-0 saat jeda. Bek veteran Paolo Maldini membuka keunggulan pada menit pertama pertandingan. Sebelum turun minum, Hernan Crespo menambahnya dengan dua gol. Awal yang sempurna.
Tak mau disetir kemurungan, Rafael Benitez menghimpun nafas
dan berdiri di tengah para pemainnya. Sang manajer sadar, dia hanya punya waktu
15 menit untuk mengembalikan kepercayaan diri tim. Ketika berjalan dari bangku
cadangan menuju ruang ganti, benak Benitez dipusingkan mencari-cari kalimat
dalam bahasa Inggris yang tepat untuk "menghidupkan" para pemainnya.
Kalimat yang kemudian meluncur dari mulutnya sederhana saja.
"Jangan tundukkan kepala kalian. Kita Liverpool. Kalian
bermain untuk Liverpool. Jangan lupakan itu. Kalian harus tetap menegakkan
kepala kalian untuk suporter. Kalian harus melakukkannya untuk mereka",
serunya.
"Kalian tak pantas menyebut kalian pemain Liverpool
kalau kepala kalian tertunduk. Kalau kita menciptakan beberapa peluang, kita
berpeluang bangkit dalam pertandingan ini. Percaya lah kalian mampu
melakukannya. Berikan kesempatan buat kalian sendiri untuk keluar sebagai
pahlawan."
Sebelum tim keluar kamar ganti, Rafa menyusun skema formasi
baru di papan tulis. Untuk menghambat Kaka, Rafa meminta Dietmar Hamann bersiap
tampil menggantikan Djimi Traore. Namun, ketika diberitahu Steve Finnan
mengalami cedera, Benitez memanggil kembali Traore yang sudah mencopot sepatu
dan berjalan ke kamar mandi. Keputusan terakhir, Finnan keluar, Hamann masuk.
Rafa sadar, tak ada lagi ruginya mengorbankan seorang pemain
bertahan. Liverpool bermain dengan tiga pemain belakang dan kapten Steven
Gerrard didorong lebih ke depan. Liverpool memang harus bangkit, sekarang atau
tidak sama sekali.
Inilah lima belas menit yang menentukan. Lima belas menit
yang mengubah segalanya. Babak kedua menjadi milik Liverpool. Sembilan menit
berjalan, Liverpool menyulut sumbu ledak stadion. Dalam rentang enam menit
berikutnya, Liverpool ganti mengendalikan situasi. Steven Gerrard memberikan
gol inspirasional lewat sundulan kepala menyongsong umpan John Arne Riise. Tak
lama berselang, tendangan keras jarak jauh Vladimir Smicer tak dapat ditahan
Dida. Belum lagi Milan menata diri, pada menit ke-60, Gerrard dijatuhkan di
kotak penalti oleh Gennaro Gattuso. Penalti! Awalnya, eksekusi Xabi Alonso
sempat ditahan Dida, tapi bola muntah langsung disambar Alonso.
Cerita belum selesai. Kedudukan 3-3 bertahan hingga 90
menit. Pertandingan diperpanjang hingga 30 menit, tapi tetap tak bisa
menentukan pemenang. Juara Liga Champions musim itu pun harus diselesaikan
melalui babak adu penalti.
Sebelum "babak perjudian" itu dimulai, Jamie
Carragher datang menghampiri kiper Jerzy Dudek. Carra menyarankan Dudek agar
melakukan "sesuatu" untuk mengacaukan konsentrasi pemain Milan. Dudek
langsung teringat rekaman video yang pernah disaksikannya. Kaki spaghetti! Saat
adu penalti final Piala Champions 1984 melawan AS Roma, pendahulu Dudek, Bruce
Grobbelaar, memelintir-melintir kakinya. Entah memang berpengaruh atau tidak,
Grobbelaar berhasil membawa Liverpool menang dan merebut Piala Champions.
Trik yang sama dipakai Dudek ketika Andriy Shevchenko
bertugas sebagai eksekutor terakhir Milan. Terbukti, trik kuno itu berhasil.
Eksekusi Sheva mengarah ke tengah gawang dan dengan sebelah tangan, Dudek
menahannya. Liverpool pun merajai Eropa! Jerih payah fans Liverpool yang terus
menggemuruhkan dukungan untuk klub kesayangan mereka terbayar sudah!
Mukjizat di Istanbul ini kemudian diabadikan dalam film
Fifteen Minutes That Shook The World. Betapa tidak, final Liga Champions musim
itu sangat dramatis dan membuktikan segalanya mungkin terjadi di lapangan
sepakbola.
Pascafinal Istanbul, hidup tak lagi sama. Tapi, hidup juga
berjalan terus. Satu per satu figur pemain heroik, seperti Harry Kewell, Milan
Baros, Djibril Cisse, Luis Garcia, Dudek, dan Smicer meninggalkan Anfield dan
melanjutkan karir di klub baru.
Sebagian tetap tinggal, terutama Gerrard. Sang kapten sempat
disebut-sebut akan hijrah ke Chelsea musim panas 2005 itu. Tapi, Istanbul
mengubah segalanya.
"Bagaimana mungkin saya pindah setelah mengalami final
seperti ini?" ujar Gerrard.
Arak-arakan bus dengan atap terbuka dan kerumunan satu juta
orang, 300 ribu di antaranya memadati St George's Hall, suatu hari di Mei 2005,
pasti takkan pernah dilupakan Liverpudlian sepanjang masa.
Sumber: http://putraliverpool.blogspot.com/2011/04/final-champions-league-2005-liverpool.html
Sumber: http://putraliverpool.blogspot.com/2011/04/final-champions-league-2005-liverpool.html